Fenomena Wamen Rangkap Jabatan Jadi Sorotan

LiveNews – Fenomena wakil menteri (wamen) Kabinet Merah Putih yang merangkap jabatan sebagai Komisaris BUMN kini sedang menjadi sorotan publik. Terkait perihal ini, pihak Istana akhirnya membuka suara.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menilai, pemerintah tak melanggar keputusan Mahkamah Konstisusi (MK) yang melarang wamen kabinet merangkap jabatan sebagai Komisiris BUMN. Dia menyebut larangan wamen rangkap jabatan tak termuat di dalam amar putusan MK.
“Sejauh ini pemerintah tidak tersedia menyalahi amar putusan MK. Kalau kita bicara putusan MK, tidak tersedia yang disalahi oleh pemerintah,” kata Hasan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 23 Juli 2025.
Dia utamakan pemerintah selamanya merujuk pada putusan MK. Hasan pun menghendaki masyarakat untuk membaca amar putusan MK berkenaan menteri rangkap jabatan.
“Coba temen-temen baca ulang amar putusan MK. Jadi yang dipegang pasti amar putusan MK, menjadi sejauh ini pemerintah tidak menyalahi putusan MK,” jelasnya.
Hasan menyatakan bahwa fenomen wamen kabinet menjadi Komisaris BUMN bukan terjadi di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saja. Dia mengatakan bagian kabinet yang dilarang rangkap jabatan Komisaris BUMN cuma menteri atau kepala badan pemerintah.
“Yang tidak boleh itu cuma bagian kabinet selevel menteri atau kepala badan atau kepala kantor. Kalau wamen juga di awalnya tersedia wamen yang komisaris di sebagian BUMN. Ini sudah terjadi juga,” tutur Hasan.
Uji Materi
Sebelumnya, Diketahui, Juhaidy Rizaldy Roringkon mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 mengenai Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menghendaki sehingga wamen dilarang merangkap jabatan. Juhaidy menguji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara lantaran mulai dirugikan hak konstitusionalnya.
Menurut dia, pasal tersebut cuma menyesuaikan larangan rangkap jabatan pada menteri, saat pada wakil menteri tidak diatur larangan serupa.
“Dengan tidak (ada) larangan di dalam UU Kementerian Negara, pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN dapat tertutup sebab dapat bersaing bersama dengan para wakil menteri yang sudah dekat bersama dengan kekuasaan dan tidak mampu ulang menjadi kandidat komisaris yang seperti harapan pemohon di jaman depan nanti,” katanya seperti dikutip berasal dari berkas permohonan.
Adapun Pasal 23 UU Kementerian Negara tersebut berbunyi: “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya cocok bersama dengan keputusan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai berasal dari APBN dan/atau APBD.”
Dalam permohonannya, Juhaidy mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan bahwa wakil menteri harusnya dilarang merangkap jabatan, seperti seperti menteri.
Pertimbangan Hukum Putusan
Pada pertimbangan hukum putusan no 80 itu, Mahkamah perlihatkan pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri.
Oleh sebab itu, menurut MK, wakil menteri kudu ditempatkan statusnya seperti menteri, sehingga seluruh larangan rangkap jabatan yang diatur di dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi wakil menteri.
Namun, dikala itu, MK memastikan permohonan no 80 tidak mampu diterima sebab para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Menurut Juhaidy, norma tersebut harusnya hidup di dalam undang-undang sehingga mengikat bagi seluruh pihak. Atas basic itu, dia menghendaki MK mengimbuhkan frasa “wakil menteri” sehabis kata “menteri” di dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.
Dengan demikian, dia memohon, pasal tersebut diubah menjadi berbunyi: “Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya cocok bersama dengan keputusan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai berasal dari APBN dan/atau APBD.”